JAKARTA – Pemerintah menggelontorkan anggaran subsidi dan kompensasi senilai Rp218 triliun sepanjangJanuari–Agustus 2025. Dana tersebut dialokasikan untuk BBM, LPG 3 kg, listrik, dan pupuk demi menjaga daya beli masyarakat, stabilitas harga, serta kelancaran produksi pangan.
“Subsidi dan kompensasi Rp218 triliun telah digelontorkan untuk BBM, LPG, listrik, dan pupuk bersubsidi.”
— Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (25/9/2025)
Menurut Kementerian Keuangan, kenaikan konsumsi komoditas bersubsidi tahun ini dipengaruhi pemulihan mobilitas, aktivitas produksi yang membaik, serta perbaikan iklim pembiayaan seiring penurunan suku bunga kebijakan lihat juga kebijakan BI pangkas suku bunga ke 4,75%. Di sisi permintaan, promosi dan stimulus pada sektor transportasi turut mendongkrak perjalanan, misalnya kampanye diskon tiket pesawat saat Harbolnas.
Rincian Penyaluran Subsidi
- BBM bersubsidi: 10,63 kiloliter (kl), naik 3,5% dari 10,28 kl pada periode sama tahun lalu. Kenaikan konsumsi BBM bersubsidi berkorelasi dengan meningkatnya mobilitas masyarakat antardaerah.
- LPG 3 kg: 4,91 juta kilogram (kg), naik 3,6% dari 4,74 juta kg. Porsi terbesar terserap oleh rumah tangga dan usaha mikro untuk kebutuhan memasak serta proses produksi sederhana.
- Listrik bersubsidi: dinikmati 42,4 juta pelanggan, naik 3,8% dari 40,9 juta. Subsidi menjaga keterjangkauan tarif, terutama bagi pelanggan rumah tangga kecil dan sektor produktif tertentu.
- Pupuk bersubsidi: tersalurkan 5 juta ton, naik 12,1% dari 4,4 juta ton. Tambahan volume penting untuk menjaga produksi tanaman pangan, khususnya saat musim tanam.
Kenaikan empat komponen di atas diharapkan memperkuat buffer daya beli dan menahan inflasi bahan pangan serta transportasi. Pemerintah menegaskan penyaluran tetap diarahkan tepat sasaran melalui skema kuota, digitalisasi data penerima, dan auditing berkala.
Tren 5 Tahun: Naik-Turun Karena Harga Energi & Mobilitas
Belanja subsidi & kompensasi menunjukkan dinamika yang erat dengan harga energi global dan siklus pemulihan ekonomi:
- 2021: Rp119,7 triliun
- 2022: Rp244,6 triliun (+104,4%) — lonjakan dipicu tekanan harga energi global.
- 2023: Rp194,6 triliun (−20,4%) — normalisasi bertahap seiring stabilisasi harga.
- 2024: Rp208,6 triliun (+7,2%) — penyesuaian untuk menjaga momentum pemulihan.
- 2025 (per Agustus): Rp218 triliun (+4,5%) — sejalan konsumsi & mobilitas yang meningkat.
Di saat yang sama, kebijakan sisi permintaan seperti promosi tiket dan konektivitas turut mengungkit aktivitas. Lihat kembali program diskon tiket penerbangan yang menstimulasi pergerakan wisata dan bisnis.
Pajak Menopang APBN: Mengapa Krusial?
Anggaran subsidi dan kompensasi berasal dari APBN. Lebih dari 70% penerimaan APBN bersumber dari pajak. Karena itu, menjaga kepatuhan dan memperluas basis pajak menjadi kunci agar perlindungan sosial dan dukungan energi tetap berkelanjutan.
Di tingkat daerah, pemerintah pusat mendorong optimalisasi penerimaan legal yang tidak membebani ekonomi produktif, misalnya intensifikasi pajak spesifik di sektor sumber daya setempat. Baca: Mendagri dorong potensi pajak alat berat & air tanah.
“Kelembagaan pajak yang kuat memastikan subsidi tepat guna: melindungi yang rentan, menjaga produksi, dan menahan inflasi—tanpa menggerus keberlanjutan fiskal.”
— Analis kebijakan fiskal
Bagaimana Subsidi Disalurkan & Diawasi?
Penyaluran subsidi mengikuti rambu teknis tiap komoditas. Untuk energi, penghitungan kompensasi mempertimbangkan selisih harga keekonomian dengan harga jual ke masyarakat. Pada pupuk, pagu disalurkan melalui alokasi jenis dan wilayah, dengan penetapan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) sebagai basis penerima.
Untuk menjaga ketepatan sasaran, pemerintah memperluas:
- Digitalisasi data penerima berbasis NIK/KK, nomor pelanggan, dan nomor usaha mikro.
- Pengawasan bersama (K/L, BPKP, BPK) melalui audit kinerja dan audit kepatuhan.
- Pengendalian kuota dan verifikasi lokasi guna menekan potensi penyelewengan maupun cross-subsidy yang tidak semestinya.
Koordinasi lintas daerah juga ditingkatkan untuk menghindari disparitas distribusi, terutama pada wilayah terpencil/3T, serta mengamankan logistik agar serapan pupuk tidak terhambat.
Dampak Ekonomi: Daya Beli, Inflasi, dan Produksi
Secara makro, subsidi menahan inflasi langsung (transportasi, bahan bakar, tarif listrik) dan tidak langsung (biaya logistik, ongkos produksi pangan). Pada sektor pangan, peningkatan volume pupuk berkontribusi pada yield dan stabilitas pasokan. Ketika suku bunga lebih rendah — lihat penurunan BI rate — transmisi ke kredit produktif lebih cepat sehingga biaya produksi dan distribusi dapat turun.
Dari sisi konsumsi, kebijakan promosi perjalanan seperti diskon tiket pesawat Harbolnas membantu pemulihan pariwisata yang memiliki multiplier effect ke UMKM akomodasi, kuliner, dan transportasi lokal.
Risiko & Langkah Antisipatif
- Tekanan harga energi global: berpotensi menambah kebutuhan kompensasi. Antisipasi melalui hedging terbatas dan penyesuaian bauran energi.
- Ketidaktepatan sasaran: diatasi dengan pemadanan data, verifikasi lapangan, dan sanksi penyelewengan.
- Keterlambatan logistik: mitigasi melalui penambahan gudang transit dan jalur distribusi alternatif untuk LPG/pupuk.
- Beban fiskal jangka menengah: dikelola lewat penguatan basis pajak, digitalisasi administrasi, dan prioritisasi belanja yang lebih produktif.
Outlook 2025: Menjaga Keseimbangan
Hingga akhir tahun, prioritas kebijakan diarahkan pada penyerapan subsidi yang tepat waktu dan tepat sasaran, sembari menjaga ruang fiskal. Pemerintah menyiapkan opsi penyesuaian teknis apabila terjadi lonjakan harga komoditas global. Keberhasilan program sangat bergantung pada disiplin data, koordinasi pusat–daerah, serta partisipasi masyarakat melaporkan penyimpangan.
Secara keseluruhan, kombinasi antara penopang daya beli, perbaikan pembiayaan (BI rate 4,75%), dan stimulus mobilitas (program tiket) diharapkan menjaga momentum pertumbuhan hingga akhir 2025.