BPKP Soroti Tiga Isu Utama Penerimaan Negara: Pajak Tak Merata, Insentif Belum Terukur, dan Fragmentasi PNBP

Jakarta – Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menegaskan komitmen memperkuat pengawasan dan pengelolaan keuangan negara bersama Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dalam paparannya di Rapimnas III DJP 2025, Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh menyoroti tiga persoalan besar yang menghambat optimalisasi penerimaan negara.

“Perlu adanya perbaikan kinerja pengumpulan perpajakan melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi pada seluruh sektor.”

— Muhammad Yusuf Ateh, Kepala BPKP

Tiga Isu Utama Penerimaan Negara

  1. Ketidakmerataan beban perpajakan antar sektor usaha. Ada sektor yang sudah relatif patuh dan berkontribusi signifikan, sementara sektor lain masih belum tergarap optimal. Kesenjangan ini menuntut penguatan basis data dan analitik risiko agar potensi pajak lebih merata.
  2. Insentif perpajakan tinggi namun dampaknya belum terukur. BPKP mencatat masih ada pemberian fasilitas yang tidak tepat sasaran, sehingga biaya fiskal tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan hasil penerimaan.
  3. Fragmentasi pengelolaan penerimaan negara, khususnya PNBP. Tata kelola PNBP dinilai belum terintegrasi utuh dengan kerangka penerimaan negara, mengakibatkan potensi belum tergali maksimal.

Baca juga: Kemenkeu: Banyak BPD Berminat Tampung Uang Negara

Ketidakmerataan Beban Pajak: Perkuat Basis Data

Ateh menilai solusi awal untuk mengatasi ketimpangan kontribusi adalah penguatan basis data perpajakan. Integrasi data lintas otoritas, pemetaan rantai nilai, serta identifikasi beneficial ownership diperlukan untuk memperluas basis pajak tanpa menambah beban berlebih pada sektor yang sudah patuh.

Insentif Besar, Dampak Belum Terukur

Terkait efektivitas insentif, BPKP merekomendasikan tata kelola berbasis kinerja dengan indikator yang jelas—mulai dari dampak pada investasi, penyerapan tenaga kerja, hingga kontribusi pada penerimaan. BPKP mencatat hasil pengawasan bahwa sebagian fasilitas tax expenditure tidak tepat sasaran dan nilainya melampaui penerimaan yang dihasilkan.

“BPKP melakukan koreksi insentif senilai Rp2,36 triliun atas 8 fasilitas pajak ditanggung pemerintah periode 2020–2024.”

— Muhammad Yusuf Ateh

Fragmentasi PNBP: Integrasi Tata Kelola

Pada sisi PNBP, BPKP menilai perencanaan dan pengelolaan belum sepenuhnya terhubung dengan target makro penerimaan negara. Akibatnya, sebagian potensi PNBP tidak tertangkap. Penguatan perencanaan, klasifikasi penerimaan, dan performance-based budgeting menjadi kunci perbaikan.

Baca juga: Kronologi & Bukti Ketidakhadiran USKP Harus Dikirim Hari Ini

Sinergi Lintas Lembaga untuk Hasil yang Terukur

BPKP mendorong sinergi data dan fungsi antara Kemenkeu, DJP, dan pengelola PNBP untuk memastikan kebijakan berbasis bukti. Dengan arsitektur data yang terintegrasi, pemerintah dapat mengukur value for money insentif, membenahi celah kepatuhan, dan menajamkan strategi intensifikasi–ekstensifikasi.

“Insentif besar tanpa pengukuran kinerja berisiko menekan ruang fiskal. Integrasi data dan tata kelola kinerja menjadi syarat mutlak.”

— Muhammad Yusuf Ateh

Sumber Terkait

Exit mobile version