JAKARTA – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melaporkan nilai restitusi pajak sepanjang Januari–Agustus 2025 menembus Rp304,3 triliun, melonjak 40,32% dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar Rp216,85 triliun. Lonjakan tersebut utamanya bersumber dari PPh Badan dan PPN, seiring perubahan kondisi ekonomi dan pola pembayaran pajak korporasi.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Rosmauli menyampaikan, meskipun posten lain seperti PPh Orang Pribadi dan PBB ikut berkontribusi, dominasi tetap berada pada PPh Badan dan PPN. Dari sisi administrasi, proses restitusi turut dipercepat melalui kanal digital sehingga klaim wajib pajak berprofil patuh dapat diproses lebih efisien.
“Mayoritas restitusi berasal dari PPh Badan dan PPN. Tren ini sejalan dengan moderasi harga komoditas dan perbaikan kepatuhan, sekaligus cerminan sistem administrasi pajak yang makin efisien.”
— Rosmauli, 2 Oktober 2025
Mengapa Restitusi Melonjak?
DJP menjelaskan, salah satu pemicu utama lonjakan adalah volatilitas harga komoditas. Harga komoditas yang sempat tinggi pada 2024 berangsur moderat pada 2025. Dampaknya, kredit pajak yang dibayarkan di muka oleh wajib pajak—terutama pelaku komoditas dan industri hulu—lebih besar dari pajak terutang. Selisih tersebut kemudian diajukan sebagai restitusi.
Selain faktor harga, peningkatan kepatuhan dan pelaporan yang lebih rapi ikut mendorong klaim. Integrasi data, pemanfaatan e-faktur, serta risk engine pemeriksaan turut menekan ketidakpastian, sehingga wajib pajak lebih percaya diri mengajukan pengembalian.
Baca juga: Marak Keracunan Makanan Bergizi Gratis, Prabowo Akan Panggil Kepala BGN
Tiga Jalur Restitusi
Secara garis besar, restitusi terbagi menjadi tiga:
- Restitusi normal: melalui prosedur pemeriksaan umum dengan ruang lingkup komprehensif.
- Restitusi dipercepat: diberikan kepada wajib pajak tertentu dengan tingkat kepatuhan tinggi sesuai kriteria regulasi, sehingga prosesnya lebih ringkas.
- Restitusi dari upaya hukum: timbul dari putusan keberatan, banding, atau peninjauan kembali yang mengoreksi ketetapan pajak sebelumnya.
Hingga Agustus 2025, DJP menyebut resti normal masih mendominasi nominal pengembalian, meski porsi rinci per skema tidak dipublikasikan.
Baca juga: Purbaya: Ekonomi Melambat, Tambah Pungutan Pajak Bukan Langkah Bijak
Dampak ke APBN: Penerimaan Terkoreksi
Di sisi lain, realisasi penerimaan pajak Januari–Agustus 2025 tercatat Rp1.135,44 triliun, mengalami kontraksi 5,1% dibanding periode yang sama pada 2024. Koreksi terutama datang dari PPh Badan serta PPN dan PPnBM yang tertekan akibat nilai restitusi yang tinggi.
“PPh Badan ada kenaikan untuk yang bruto, tetapi ada koreksi dengan restitusi. Ini menekan angka penerimaan, namun pada saat yang sama menunjukkan hak wajib pajak terpenuhi.”
— Anggito Abimanyu, Wakil Menteri Keuangan
Pemerintah menegaskan bahwa pemenuhan hak pengembalian tetap sejalan dengan upaya menjaga cash flow negara secara prudent. DJP menggunakan pendekatan pengawasan berbasis risiko (risk-based supervision) untuk menilai kelayakan klaim dan meminimalkan moral hazard.
Implikasi bagi Dunia Usaha
Bagi korporasi, restitusi yang cepat dan predictable memperbaiki arus kas, menurunkan biaya pendanaan, serta meningkatkan kepastian usaha. Ekonom menilai, walau jangka pendek berdampak negatif pada kas pemerintah, jangka menengah restitusi yang tepat sasaran dapat memperkuat kepercayaan dan mendorong reinvestasi.
- Kepastian & Kredibilitas: proses yang transparan membuat wajib pajak patuh merasa diperlakukan adil.
- Efisiensi Administrasi: digitalisasi layanan mempercepat SLA dan mengurangi sengketa administratif.
- Stabilitas Fiskal: pemerintah perlu menyeimbangkan hak restitusi dan target penerimaan melalui perencanaan kas yang lebih granular.
Baca juga: Golden Visa Indonesia Raup Investasi Rp48 Triliun
Ke Depan: Menjaga Kualitas Restitusi
Fokus kebijakan selanjutnya adalah menjaga kualitas restitusi: tepat wajib pajak, tepat waktu, dan tepat jumlah. Instrumen analitik—termasuk pemadanan data transaksi, e-invoicing, dan compliance risk management—akan terus dipakai untuk mengurangi klaim tidak layak tanpa menghambat pengembalian sah.
Pemerintah juga membuka ruang dialog dengan pelaku usaha dan konsultan pajak untuk menyempurnakan pedoman teknis. Tujuannya, memperkecil sengketa dan mempercepat penyelesaian keberatan/banding sehingga kepastian hukum meningkat.