Tren Naik: WP Bayar Pajak yang Tak Disetujui

JAKARTA – Berdasarkan UU KUP, Wajib Pajak (WP) berhak untuk tidak menyetujui ketetapan pajak dan menempuh jalur hukum. Selama proses itu, WP hanya wajib melunasi jumlah pajak yang disepakati dalam PAHP. Sementara jumlah yang tidak disetujui tidak perlu dibayar hingga ada keputusan keberatan, putusan banding, atau peninjauan kembali (PK) yang sudah inkracht.Namun, kenyataannya banyak WP justru memilih membayar lebih awal atas bagian yang tidak disetujui. Alasan utamanya: untuk mengurangi risiko sanksi denda jika sengketa kalah atau hanya dikabulkan sebagian. Fenomena pembayaran sukarela atas jumlah pajak yang belum disetujui meningkat, meski secara formal belum wajib dilunasi.

Data Pembayaran Sukarela Terus Naik

Laporan DJP menunjukkan tren pembayaran atas jumlah pajak yang tidak disetujui meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir:

  • 2020: Rp16,16 triliun
  • 2021: Rp21,58 triliun
  • 2022: Rp11,07 triliun
  • 2023: Rp17,56 triliun
  • 2024: Rp25,14 triliun
Sumber: Laporan Tahunan DJP 2020–2024

“Meski tidak ada kewajiban, banyak WP memilih membayar lebih awal demi mengurangi risiko denda.”

Risiko Sanksi Denda 30%–60%

Sanksi muncul jika upaya hukum WP ditolak atau dikabulkan sebagian:

  • Keberatan: denda 30% dari pajak dalam keputusan keberatan dikurangi pembayaran sebelum keberatan.
  • Banding: denda 60% dari pajak dalam putusan banding dikurangi pembayaran sebelum keberatan.

Kritik & Rekomendasi

Menurut Darussalam dan Danny Septriadi (2023), aturan denda ini bertentangan dengan semangat UU Pengadilan Pajak yang menekankan asas cepat, murah, dan sederhana. Mereka mengusulkan agar sanksi cukup dibatasi pada time value of money akibat tertundanya penerimaan negara.

Kesimpulan

Peningkatan pembayaran sukarela menunjukkan dilema WP: membayar lebih awal untuk menekan risiko denda, atau memperjuangkan hak lewat jalur hukum. Reformasi sanksi menjadi kunci agar sengketa pajak tetap adil, sederhana, dan efisien.

Exit mobile version