“Terkait GMT, kita sedang diskusi dengan Kemenkeu. Regulasi sudah ada, tapi waktu penerapannya masih kita pertimbangkan, sama halnya dengan banyak negara lain,” jelas Susiwijono, Selasa (9/9/2025).
Efek ke Insentif Pajak
Indonesia selama ini mengandalkan skema tax holiday dan tax allowance untuk menarik investasi, khususnya di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Namun, dengan adanya pajak minimum global 15%, daya saing insentif ini dikhawatirkan menurun.
Baca Juga: Usai Dilantik, Menkeu Purbaya Janjikan Percepatan Ekonomi Dongkrak Tax Ratio
Di sisi lain, sejumlah negara – termasuk Amerika Serikat – juga masih menunda penerapan GMT. Situasi ini membuat posisi Indonesia tak berbeda jauh dengan negara lain yang masih menimbang-nimbang langkah terbaik.
Skema Global Minimum Tax
GMT berlaku bagi grup perusahaan multinasional dengan pendapatan minimal €750 juta dalam dua dari empat tahun terakhir. Bila tarif efektif pajak yang dibayarkan kurang dari 15%, maka akan dikenai pajak tambahan sesuai selisihnya.
Indonesia melalui PMK 136/2024 telah mengadopsi aturan ini dengan skema:
- Income Inclusion Rule (IIR) dan Qualified Domestic Top-up Tax (QDMTT) berlaku mulai 2025.
- Undertaxed Payment Rule (UTPR) baru diberlakukan tahun berikutnya.
Baca Juga: Prabowo Lantik Purbaya Yudhi Sadewa Jadi Menteri Keuangan Gantikan Sri Mulyani
Kekhawatiran Investor
Sejumlah kalangan menilai kebijakan ini bisa mengurangi minat investor yang berharap mendapat fasilitas pajak. Padahal, keberadaan KEK dan insentif fiskal masih menjadi senjata utama Indonesia untuk bersaing dalam perebutan modal asing.
“Implementasi pajak minimum global dikhawatirkan bakal memengaruhi daya saing investasi, terutama di kawasan ekonomi khusus (KEK).”
Sumber terkait: OECD