JAKARTA – Pemerintah melalui PMK 51 Tahun 2025 resmi menetapkan ketentuan baru mengenai PPh Pasal 22 atas transaksi emas bullion. Aturan yang berlaku sejak 1 Agustus 2025 ini mengenakan tarif pajak sebesar 0,25% dari nilai jual emas. Regulasi tersebut hadir sebagai bagian dari strategi memperkuat basis penerimaan negara, sekaligus menciptakan ekosistem perdagangan emas yang transparan.
Latar Belakang Aturan Baru
Selama ini, transaksi emas sering menjadi perhatian karena memiliki nilai ekonomi tinggi dan rawan disalahgunakan untuk praktik penghindaran pajak. Pemerintah ingin memastikan bahwa setiap transaksi tercatat dengan baik, sehingga penerimaan negara dari sektor emas lebih optimal. Selain itu, aturan ini juga dirancang agar tidak memberatkan konsumen akhir. Konsumen yang membeli emas untuk kebutuhan pribadi tidak dikenakan PPh 22, melainkan hanya PPN 1,65% pada emas perhiasan.
“Aturan ini membuat pajak emas lebih sederhana, adil, dan transparan bagi seluruh pelaku industri.”
Siapa yang Wajib Dipungut PPh 22?
Menurut PMK 51/2025, pemungutan PPh Pasal 22 berlaku dalam kondisi berikut:
- Lembaga Jasa Keuangan (LJK) bullion saat membeli emas batangan, kecuali nilai transaksi ≤ Rp10 juta.
- Pedagang perhiasan atau pabrikan emas batangan saat menjual ke pihak selain konsumen akhir, WP PPh final, atau WP dengan SKB PPh 22.
Dengan ketentuan ini, pemerintah menegaskan bahwa kewajiban pajak difokuskan pada sektor usaha atau perdagangan emas dalam jumlah besar, bukan pada pembelian kecil oleh masyarakat umum.
Baca juga: Prabowo & DPR Siap Cabut Tunjangan Tunda Kunker
Cara Hitung Pajak Emas Bullion dan Perhiasan
Pemerintah juga menyertakan simulasi untuk mempermudah pemahaman masyarakat:
Jenis Transaksi | Nilai Penjualan | Tarif Pajak | Pajak Terutang |
---|---|---|---|
Emas Batangan (pabrikan) | Rp180.000.000 | 0,25% (PPh 22) | Rp450.000 |
Emas Perhiasan (konsumen) | Rp75.000.000 | 1,65% (PPN) | Rp1.237.500 |
Dari tabel tersebut, terlihat jelas perbedaan skema perpajakan antara emas bullion dan perhiasan.
Konsumen akhir tetap dilindungi dari beban ganda, sedangkan sektor usaha besar wajib berkontribusi lebih besar pada penerimaan negara.
Baca juga: Sri Mulyani Sampaikan Pesan Usai Aksi Massa
Dampak terhadap Industri Emas
Regulasi ini diyakini akan membawa dampak positif bagi industri emas nasional. Dengan tarif relatif kecil (0,25%), aturan ini tidak menekan margin pedagang atau pabrikan, namun tetap menjamin kontribusi pajak. Selain itu, aturan ini juga meningkatkan kepercayaan investor, baik dalam maupun luar negeri, karena adanya transparansi dalam sistem perdagangan emas.
Di sisi lain, pemerintah tetap harus mengawasi praktik di lapangan. Sebab, sebagian pedagang mungkin berusaha menghindari kewajiban dengan memecah transaksi di bawah Rp10 juta. Oleh karena itu, DJP diminta memperkuat sistem pengawasan berbasis data dan digitalisasi transaksi.
Harapan Pemerintah dan Proyeksi ke Depan
Pemerintah berharap penerapan PMK 51/2025 mampu meningkatkan penerimaan pajak tanpa mengganggu iklim usaha. Dengan dukungan teknologi dan kerja sama dengan asosiasi emas, diharapkan kepatuhan sukarela meningkat. Selain itu, penerimaan negara dari sektor emas dapat mendukung target APBN 2026 yang dipatok lebih dari Rp2.357 triliun.
Tak hanya itu, aturan ini juga menjadi bagian dari strategi jangka panjang menuju integrasi penuh antara sektor perdagangan emas dengan sistem Coretax DJP. Jika integrasi berjalan baik, setiap transaksi emas akan lebih mudah diawasi dan dicatat, sehingga shadow economy di sektor ini bisa ditekan.